Selasa, 21 April 2009

Bersabar lah...Bersabarlah...

Paku…

Suatu ketika ada seorang anak yang bersifat pemarah. Ayahya berusaha keras untuk membuang sifat buruk anaknya. Suatu hari ia memanggil anaknya dan memberinya sekantong paku. Paku? Ya paku!

Sang anak heran, tetapi ayahnya justru tersenyum bijak, dengan suara yang lembut ia berkata kepada anaknya agar memakukan sebuah paku di pagar belakang rumah setiap kali marah. Ajaib!

Di hari pertama, sang anak menancapkan 48 paku! Begitu juga di hari kedua, ketiga dan beberapa hari selanjutnya. Tapi tak berlangsung lama. Setelah itu jumlah paku yang tertancap berkurang secara bertahap. Ia menemukan fakta bahwa lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan begitu banyak paku ke pagar.

Akhirnya, kesadaran itu membuahkan hasil. Si anak telah bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabaran. Ia bergegas memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Sang ayah tersenyum, kemudian meminta si anak agar mencabut satu paku untuk setiap hari di mana dia tidak marah.

Hari-hari berlalu dan anak itu akhirnya berhasil mencabut semua paku yang pernah ditancapkannya. Ia bergegas melaporkan kabar gembira itu kepada ayahnya. Sang ayah bangkit dari duduknya dan menuntun si anak melihat pagar di belakang rumah itu.

“Hmm, telah telah berhasil dengan baik anakku, tetapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya,” kata si ayah si ayah bijak.

Sang ayah sengaja memotong kalimatnya pendek-pendek agar si anak bisa mencerna maksudnya dengan baik. Si anak menatap ayahnya dengan sikap menunggu apa kelanjutan ucapan ayahnya itu.

Ketika kamu melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata-kata kamu itu meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain. Kamu dapat menusukan pisau kepada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli berapa kali kamu akan meminta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan, luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik,” ucap sang ayah lembut namun sarat.

Sang anak membalas tatapan lembut ayahnya dengan mata berkaca-kaca, Pelajaran yang diberikan ayahnya begitu tajam menghujam relung hatinya.

Teman...saling memaafkan mungkin bisa mengobati banyak hal, tapi akan sirna maknanya saat kita mengulangi kesalahan serupa. Padahal lubang bekas cabutan paku yang sebelumnya masih menganga.

Jadi berhati-hatilah, teman...semoga Allah melembutkan hati kita dan menghiasinya dengan sifat sabar tanpa tepi...Amien.

Sumber : Buku Kekuatan Cinta By: Irfan Toni Herlambang

Bagaimana dengan kita?

Dapatkah bersabar tanpa tepi?

Dapatkah menahan semua amarah?

InsyaAllah...LahaulaWalakuwataIlabillah

Jumat, 17 April 2009

Sebuah Kisah....

Permen...

Suatu hari ada seorang ibu membawa anaknya yang kira-kira berusia 4 tahun untuk menghadiri sebuah pesta ulang tahun temannya; pestanya berlangsung sangat meriah; namun si orang ibu ini terus mengkomplain anaknya yang katanya tidak berani tampil dan pemalu.

Setiap diadakan perlombaan selalu ia mendorong-dorong anaknya untuk ikutan; namun sianak tetap saja enggan untuk ikut. Kalapun terpaksa ikut anak ini kerap kali selalu kalah atau berada pada urutan terakhir dari perlombaan.

Si ibu yang penuh ambisi ini sepertinya merasa kecewa dengan tingkah laku anaknya yang demikian. Lalu dia menceritakan betapa hebatnya ia waktu masih seusia anaknya dulu. Ia bercerita bahwa dulu dirinya selalu berani mengikuti lomba; ia juga selalu menang dalam setiap perlombaan. Dia terus saja bercerita; dan terus membandingkan kehebatan dirinya dengan anaknya.

Sampai akhirnya pestapun usai; pada saat hendak pulang tiba-tiba si tuan rumah menghampirinya…. Hallo sayang terima kasih ya telah hadir diacara kami.... oh iya.... ini sebelum pulang kamu boleh ambil permen ini ayo silahkan ambil; ambilah dengan kedua tanganmu agar kamu dapat banyak. Namun si anak diam saja sambil menatap permen itu. Si orang tua mulai gusar dan meminta anaknya untuk mengambil permen dengan kedua tangannya; namun kembali si anak tetap diam sambil menatap permen-permen itu. Sampai akhirnya si tuan rumah mengambilkan permen itu dengan tangannya sendiri.

Sesampainya dirumah si orang tua kecewa dan mengeluh sambil mengomel; dia berkata begini; Dasar kamu ini ya...., Cuma diminta ambil permen saja kok ya tidak berani; mau jadi apa kamu nanti; namun diluar dugaannya anaknya tiba-tiba menjawab; aku bukan tidak berani mengambil mami tapi aku ingin mendapatkan permannya lebih banyak; tangankukan kecil sedangkan tangan Tante tadikan jauh lebih besar; jadi aku tunggu saja biar dia yang mengambilkan untukku.

Begitulah kita para orang tua sering kali menghakimi anak kita dengan asumsi dan presepsi-presepsi kita yang sering kali sangat dangkal, padahal dibalik semua prilaku anak kita sering kali terdapat alasan yang luar biasa hebat dan kritisnya yang terkadang membuat kita berdecak kagum; Kok bisa ya anak sekecil ini berpikir sekritis itu......

Mari kita berhenti untuk menghakimi anak-anak kita...;
melainkan tanyalah mengapa mereka melakukan ini atau melakukan itu....
kelak anda akan dibuat terkagum-kagum oleh jawaban si kecil anda...